Magnolia

Trigger warning: heavy angst, suicidal thoughts, suicide, rape, domestic abuse, violence, blood, depression, self-harm, eating disorder, hate speech, bullying, trauma, major character death.

Recommended song: Billie Eilish – The 30th.

“Ketenangan apa yang kamu harapkan di dunia jika orang yang sudah meninggal pun masih harus didoakan supaya tenang?”

“Hamada...”

Kalau kalian merasa penasaran mengenai bagaimana rasanya menjadi seseorang yang jatuh cinta kepada seseorang yang justru jatuh cinta kepada kematian, aku rasa kalian datang ke orang yang tepat. Biarkan aku bercerita sebagai seorang Hamada Asahi, seseorang yang menjadi saksi hidup atas kelamnya kehidupan seseorang yang memiliki tendensi bunuh diri.

Jadi hari ini, izinkan aku bercerita mengenai Kanaya Arabella dan kekasih tersayangnya, kematian.

Berpasang-pasang kaki mungil berarak tanpa arah di atas basah rerumputan yang menghampar bagaikan karpet raksasa. Bagaikan tak mengenal teriknya hari, anak-anak bermain dengan riang di taman kota yang siang itu pelan namun pasti bermandi pengunjung. Ada yang berlarian tanpa arah, beberapa yang lain terlihat memegang mainan masing-masing, ada pula menjerit akan suka cita. Di belakang mereka, tampak skeneri hijaunya pepohonan taman kota yang berayun lembut karena hempasan angin. Menjadi anak kecil sepertinya seru, ya? Mereka hanya bermain dan tertawa setiap saat, bukan hidup di himpitan kecemasan setiap harinya.

Kalau kalian meneleng ke sisi lebih jauh di bawah sebuah pohon magnolia besar yang rekah bunganya sedang ranum-ranumnya, ada dua entitas manusia yang terlihat berteduh. Pohon magnolia di taman kota ini adalah satu dari sekian pohon yang tumbuh besar dan kokoh untuk menjadi naungan siapa pun yang membutuhkan. Dan akulah sosok yang membutuhkan naungan itu, akulah yang kini membiarkan sosok Kanaya Arabella tertidur di pangkuanku, di bawah rimbunnya warna merah muda payung magnolia. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan di sini, yang jelas, aku hanya menunggu sosok Kanaya Arabella menghabiskan lebih dari dua jam memejamkan mata tanpa sedikit pun bersuara.

Bak bicara pada angin, aku justru terus bersenandika seorang diri. Setiap kata yang keluar dari mulutku kutiti dengan halus sampai terdengar seperti kisah pengantar tidur. Padahal, aku sadar jika aku hanya terus memuntahkan kata seputar pekerjaan dan hal-hal trivial yang terdengar bagaikan bualan semata. Namun Abel tetap tertidur pulas tanpa terganggu sekali pun atau celotehan bodohku. Terima kasih karena perempuan itu bisa tidur dengan mudah hanya dengan usapan konstan di kepalanya dan juga rentetan kalimat tidak jelas dari mulutku.

Abel tertidur seperti bayi yang baru saja disusui; tenang dan nyaman tanpa pergerakan sama sekali. Hanya tangannyalah yang terkadang terasa menggenggam tanganku lebih erat dari sebelumnya, atau terkadang pula alisnya menukik tajam seolah sedang menahan emosi di dalam bunga tidurnya. Namun, setidaknya Perempuan yang berusia tiga tahun lebih tua dariku ini bisa beristirahat setelah apa yang barusan ia alami.

Aku tidak tahu apa yang membawa derap langkahku ke apartemen Abel pukul sebelas siang tadi. Barangkali hanya ingin menyambangi lelaki itu seperti biasa setiap kali aku memiliki waktu luang. Namun, ada perasaan berbeda siang tadi, ada keharusan yang mendorongku untuk terus menggusur langkah ke unit apartemen perempuan itu.

Dibilang lancang, mungkin aku memang lancang karena masuk ke apartemen Abel tanpa memencet bel atau pun mengetuk pintu terlebih dahulu. Abel memang memberi kartu akses duplikat padaku saking seringnya aku menghabiskan waktu di griya perempuan itu. Oh, aku lupa menceritakannya. Abel dan aku adalah rekan kerja; lebih tepatnya, Abel adalah seorang penulis dengan reputasi yang tidak main-main dan aku adalah editor sekaligus penanggung jawab penerbitan semua novelnya. Singkatnya, aku adalah rekan kerja, atasan, sekaligus seorang lelaki yang paling menyayangi perempuan berambut pendek ini.

Tidak, kami tidak berkencan atau pun memiliki hubungan khusus seperti yang orang-orang dan aku sendiri harapkan. Hubungan kami hanyalah hubungan cinta bertepuk sebelah tangan karena aku mencintai Abel, namun Abel justru mencintai kematian. Kalian tidak salah baca, Abel memang mengakui dengan lantang jika ia ingin bersua dengan akhir hidupnya, ia ingin mati dengan sangat. Bahkan, keinginannya untuk berjumpa dengan kematian itu kepalang jelas dari sorot penuh luka di matanya. Abel bagaikan pecahan cermin yang remuk dan tak berbentuk namun tetap dipaksa untuk membiaskan pantulan cahaya yang ia sendiri bahkan tak punya.

Bagi Abel, salah satu caranya bertemu dengan Tuhan adalah dengan memutus nyawanya sendiri dan ya, itu memang benar adanya. Abel memiliki tendensi bunuh diri yang kuat semenjak kondisi mentalnya memburuk sepuluh tahun yang lalu. Orang-orang hanya tahu bahwa seorang Kanaya Arabella adalah penulis handal yang melahirkan karya-karya fantastis yang dicintai banyak orang, tanpa pernah tahu bahwa sosok yang mereka elu-elukan ini adalah seorang yang jiwanya telah mati terbantai akan goncangan trauma.

Abel dibuang oleh orang tua kandungnya sendiri ke sebuah panti asuhan kumuh di daerah pesisir semenjak masih bayi. Sang pemilik panti asuhan sangat menyayanginya karena Abel tumbuh menjadi anak berbudi baik dan juga ramah kepada seluruh penghuni panti asuhan. Namun, kasih sayang dari wanita berusia lanjut itu berhenti di hembusan napas terakhirnya, sang pemilik panti asuhan meninggal ketika Abel berusia dua belas tahun karena serangan jantung. Semenjak itu, kondisi panti asuhan berubah menjadi sebuah suaka perenggut kewarasan bagi Abel.

Pemilik panti asuhan yang baru tidak suka pada Abel tanpa sebuah alasan yang jelas dan merancang rencana menjijikkan agar Abel menderita di panti asuhan. Tapi aku pun tahu jika Abel tidaklah semudah itu menyerah hanya pada seseorang yang memiliki sentimen buruk kepadanya, ia tetap bertahan di panti asuhan meskipun rundungan dari sana-sini tak henti-henti ia dapatkan. Hingga tibalah di suatu hari di tanggal tiga puluh November —yang Abel terus menerus tekankan karena ia sangat membenci tanggal itu— di mana sang pemilik panti asuhan baru menuduhnya mencuri sejumlah uang yang tidak bisa dibilang sedikit. Liciknya, si berengsek satu ini menaruh seamplop uang di almari kamar Abel tanpa sepengetahuan perempuan itu hingga membuat seluruh penghuni panti memercayainya ketika mereka menemukan amplop uang itu di kamar Abel. Abel diseret ke pelataran oleh wanita berhati licik itu diiringi anak-anak lain yang akhirnya memukuli Abel dengan kayu, gagang sapu, dan benda keras lainnya hingga Abel babak belur di atas genangan darahnya sendiri.

Dengan tubuh yang seakan baru dicabik-cabik, Abel menyeret langkahnya keluar dari panti asuhan karena sang pemilik mengusirnya bagaikan sampah paling menjijikkan yang ada di muka bumi. Abel menyusur langkah tanpa direksinya dengan tas ransel berisi beberapa potong pakaian yang ia ambil sekenanya. Ia tak memiliki uang atau pun tanda pengenal di tangannya, ia hanya bermodalkan kaki yang sanggup melangkah dan mata yang masih mampu terbuka. Yang ia tahu, ia harus pergi sejauh-jauhnya dari pesisir. Ia membenci pesisir dan debur ombaknya yang membuatnya cemas.

Abel hidup di jalanan setelah itu. Ia bilang padaku, dia juga tak tahu bagaimana ia bisa bertahan di jalanan dengan lebam dan bilur di sekujur badannya. Ia bahkan pernah bercerita jika ia sempat disiram air kotor oleh beberapa warga dari perkampungan yang ia lewati. Katanya, ia terlihat seperti orang gila pembawa sial karena biru lebam dan merah bekas darah di sekitar pelipis dan kerahnya.

Hidup dengan mengemis dan mencari uang di jalanan tanpa mengenal waktu membuat sepasang suami istri mengulurkan tangannya untuk memberinya tempat tinggal bersama mereka. Abel diadopsi oleh sepasang suami istri dengan ekonomi menengah ke bawah di pinggiran kota Osaka kemudian. Meski bukan pasangan suami istri yang berkecukupan, keduanya berhasil menyekolahkan Abel hingga lulus SMA. Oh, tunggu dulu, aku harap kalian tidak menghela napas lega karena aku belum menceritakan pahitnya bagian ini.

Orang tua yang mengadopsi Abel bukanlah pasangan harmonis yang hidup bahagia dan tenteram. Ibu angkatnya adalah seorang muncikari yang tidak pernah pulang ke rumah dan hanya pulang sesekali untuk menyimpan uang di rumah. Ayahnya juga tak beda jauh, ia adalah seorang penjudi kelas kakap yang juga seorang pemabuk berat. Abel bilang, dua orang ini seperti dua pendosa yang digabungkan untuk mengisi kekurangan satu sama lain dan menghasilkan dosa yang lebih besar.

Ibunya menghasilkan banyak sekali uang dengan menyewakan para lacur di jalanan dan tempat-tempat yang tidak bisa Abel remaja bayangkan. Wanita itu hanya pulang paling sering sebulan sekali untuk menyimpan uang di sebuah koper yang pada akhirnya akan dicuri ayahnya. Ayahnya selalu mencuri uang yang disimpan ibunya dan akan menggunakannya untuk berjudi, menyewa wanita tuna susila, atau pun bermabuk-mabukan. Intinya, keduanya sama saja karena ibunya juga sering menyewa gigolo untuk memuaskan nafsunya. Itulah mengapa pertikaian dan kekerasan bukanlah hal yang asing di rumahnya, dan malangnya, Abel lah korbannya. Ia sering diseret untuk dipukuli jika mereka tidak memiliki pelampiasan akan angkara murka keduanya yang membara. Bahkan, pernah sekali ayahnya nyaris memperkosanya terang-terangan di depan ibunya. Mirisnya, ibunya hanya diam saja bahkan ketika Abel menangis minta ampun dan minta dilepaskan dari kungkungan sang ayah. Abel bersyukur karena di umur tujuh belasnya saat itu, tubuhnya sudah mulai terbentuk dan ia bahkan tumbuh tinggi besar hingga akhirnya bisa menendang ayahnya dari atas tubuhnya.

Namun tetap saja, Abel harus tetap membayar risiko dari aksi beraninya malam itu. Ayahnya memukulnya dengan botol kosong minuman keras yang akhirnya menghasilkan luka sayat di kepala belakangnya. Luka itu kini berbekas di kepala belakangnya, bekas luka yang kini sedang kuusap selagi membiarkannya terlelap di pangkuanku. Semenjak kejadian itu, ayah dan ibunya tidak pernah pulang lagi. Abel hanya menjalani hidupnya yang penuh kesendirian tanpa ayah, ibu, atau pun teman karena lagi-lagi Abel dirundung dengan alasan pekerjaan ayah dan ibu angkatnya. Ia tak memiliki satu pun teman di sekolah yang mau mengajaknya bicara kecuali untuk tujuan menyiksa dan merundungnya.

Lantas, tibalah di usia kedelapan belas di mana Abel akhirnya lulus dari sekolah menengah atasnya. Di hari pertama setelah kelulusannya, ia menemukan ibunya yang tengah menodongkan pistol pada ayahnya pukul enam pagi. Ibunya menembak ayahnya tepat di dahi hingga muncullah lubang di kepala lelaki bertubuh tambun itu. Ibunya menyusul ayahnya kemudian dengan menarik pelatuk pistolnya di pelipisnya, membuat darah mengucur dari lubang tengkoraknya bagaikan lelehan magma segar yang tidak pernah Abel bayangkan sebelumnya. Abel tidak bisa melakukan apa pun kecuali menutup mulutnya dan terjatuh ke lantai karena tak ada lagi kekuatan yang tersisa di raganya. Abel menatap kosong dua mayat berkubang darah di hadapannya dengan wajah yang memucat dan tubuh yang bergetar tiada henti. Orang tua angkatnya benar-benar kehilangan nyawa tepat di depan matanya dengan cara yang tiada pernah ia duga.

Berita kematian kedua orang tua angkatnya itu disiarkan di televisi nasional hingga surat kabar seluruh negeri dan menyebar layaknya infeksi virus paling mematikan— semua orang mengetahuinya dan memberi tatapan iba paling menyebalkan yang pernah Abel lihat. Semua orang berbondong-bondong menjadikan tragisnya kematian si muncikari dan penjudi sebagai buah bibir yang tak henti-hentinya bergemeresak di telinga Abel. Hingga di hari kesebelas setelah meninggalnya ayah dan ibu yang mengadopsinya, sebuah mobil mewah parkir di halaman rumahnya tanpa aba-aba. Sepasang suami istri berusia lanjut dengan seorang anak kecil berusia kisaran sepuluh tahun yang berpakaian rapi keluar dari mobil dan mengajaknya bicara. Mereka bilang, mereka adalah orang tua kandung Abel yang delapan belas tahun lalu terpaksa membuang Abel ke sebuah panti asuhan di daerah pesisir karena mereka tidak memiliki uang untuk merawat Abel. Kini, keduanya telah menjadi pengusaha ternama nan kaya raya dan dikaruniai seorang anak lagi sepuluh tahun yang lalu.

Semua penjelasan dari pasangan suami istri itu terasa terlalu masuk akal namun juga terlalu khayal di telinganya. Ia enggan untuk percaya pada apa yang mereka tuturkan, namun pelukan keduanya terasa begitu hangat baginya yang seumur hidup tidak pernah dipeluk. Bagaikan potongan film yang dipercepat, hidup Abel berubah drastis dari anak angkat sepasang muncikari dan penjudi, berubah menjadi anak kandung keluarga kaya raya. Tau-tau, dia sudah pindah ke sebuah rumah mewah di jantung Kota Osaka, tau-tau, dia sudah dikuliahkan di sebuah universitas terkemuka di Kota Osaka. Abel menyadari kepesatan perkembangan itu setelah satu bulan ia tinggal di kediaman mewah keluarga kaya raya ini. Rumah mewah yang apa-apanya berkilau dan bernilai tak terhingga itu juga terasa begitu dingin baginya. Kedua orang yang mengaku sebagai orang tua kandungnya itu jarang berada di rumah karena kesibukan bisnisnya, pun dengan adik kecilnya yang jarang bertemu dengannya karena setiap adiknya pulang sekolah, Abel harus pergi ke universitas untuk berkuliah. Mereka nyaris tidak pernah berbincang bersama atau pun duduk bersama untuk menyantap makan malam layaknya keluarga yang ia lihat di televisi.

Tau-tau saja, Abel mendapatkan berita bahwa orang tua dan adiknya meninggal karena kecelakaan dari seorang asisten rumah tangga di rumahnya. Adalah di hari Minggu sore ketika Abel baru saja terbangun dari tidur siangnya karena asisten rumah tangganya yang terus-terusan mengetuk pintu kamarnya. Katanya, adiknya hari itu ikut ayah dan ibunya pergi ke sebuah kunjungan bisnis di luar kota. Katanya, belum sampai di tempat yang seharusnya mereka tuju, mobil mereka dihantam kencang oleh sebuah truk kontainer yang akhirnya menyebabkan kecelakaan beruntun di sebuah jembatan layang kota sebelah. Yang paling tragis, mobil mewah itu tidak bisa meloloskan diri dari hantaman mobil lain di belakangnya— membuat mobil sedan keluaran terbaru itu ringsek dan terbakar karena mesinnya yang meledak.

Yang Abel tahu semenjak saat itu, sukmanya telah mati bersamaan dengan meninggalnya tiga orang yang sedarah dengannya. Yang Abel tahu, ada sesuatu yang mati di dalam dadanya sejak saat itu hingga ia sama sekali tak bisa menangis di pemakaman kedua orang tua dan adiknya.

Abel memutus segala perkara yang yang berhubungan dengan keluarga kandungnya semenjak saat itu. Ia menolak keras dijadikan penerus dan pewaris tahta kerajaan bisnis orang tuanya. Ia bahkan menjual semua hal yang diwariskan untuknya dan menyimpan uangnya untuk melanjutkan hidupnya. Pada akhirnya, Abel memilih untuk tinggal sendiri di apartemen selagi melanjutkan studinya hingga rampung tanpa seorang pun di sisinya.

Lantas, Abel memutuskan untuk bekerja di bawah perusahaan penerbit sebagai penulis novel fiksi. Kalau aku bisa bilang, selain mencintai kematian, Abel juga cinta mati dengan menulis. Ia bilang, menulis adalah satu-satunya cara katarsis paling ampuh dan juga satu-satunya cara baginya untuk berlari menjauh dari realita yang menenggelamkannya. Ia pernah bilang padaku di suatu malam yang dingin, bahwa satu-satunya alasan yang tersisa baginya untuk tidak memeluk kematian adalah menulis. Ia takut ia tidak lagi bisa menulis jika ia meninggalkan dunia ini. Ia mencintai menulis sama besarnya dengan ia mencintai kematian.

Abel suka menulis cerita romansa yang manis, ia juga suka menulis tentang sebuah keluarga harmonis yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak laki-laki yang tumbuh sebagai dua anak yang sehat dan cerdas. Semua buku Abel laku keras di pasaran karena semua ceritanya yang menarik dan menentramkan hati— kontras dengan kondisinya sendiri yang begitu menyedihkan baginya. Terkadang, jika sedang menyunting naskah novel milik Abel, aku bisa merasakan bahwa semua yang ia tulis adalah semua hal yang ingin ia rasakan dalam hidupnya. Perempuan dengan senyum secerah musim panas itu hanya ingin dilindungi dan disayangi dalam sebuah bahtera bernama keluarga. Perempuan itu sudah terlalu banyak berjuang dalam kesendirian dan kesepiannya tanpa seorang pun yang tahu.

Faktanya, Abel lebih dari sekedar hancur sukmanya untuk bisa merasakan kehangatan seperti yang terjadi di novel-novelnya, ia tidak lagi bisa merasakan cinta karena sukmanya telah lumpuh. Puluhan tahun menjalani kehidupan yang begitu destruktif, Abel tahu jika ia juga harus meminta pertolongan dari profesional. Perempuan itu telah mendatangi lebih dari dua puluh psikiater dan psikolog dari penjuru negeri, namun hingga kini di tahun kesembilannya berobat, tak ada satu pun hasil yang terlihat. Ia bahkan harus terus meminum obat dari psikiater dan menenggak obat tidur tiap malam agar ia dapat terlelap. Kadang, obat-obatan itu berubah menjadi pisau bermata dua yang juga dapat melukai Abel pada akhirnya.

Tahun lalu, Abel sempat dilarikan ke rumah sakit karena overdosis obat tidur. Dan yang paling baru adalah pukul sebelas tadi ketika aku melihatnya nyaris menenggak segenggam obat tidur dari celah pintu kamarnya yang tidak ditutup. Kala itu, aku memanggilnya dari luar dan mengajaknya untuk berjalan-jalan bersama ke taman tanpa menunjukkan tanda bahwa aku tahu segalanya dan mencoba sebisa mungkin berpura-pura tak tahu jika perempuan itu sekali lagi akan melakukan percobaan bunuh diri.

Kali ini, aku lagi-lagi berhasil menahannya agar tidak melangkah untuk bersua dengan kematian.

“The magnolia is so beautiful. And you know what? Magnolia means endurance, the longer it lives, the more it has to endure the pain of growing.” Aku tidak tahu telah berapa lama waktu bergulir untukku memutar kembali jalan hidup sosok Kanaya Arabella yang begitu tragis. Kini, perempuan yang sebelumnya tertidur menyamping dalam pangkuanku itu mengganti posisinya menjadi terlentang melihat gugusan bunga magnolia yang memayungi kami.

“And it is as beautiful as you, Nay.” Aku lebih suka memanggilnya dengan panggilan Naya dan ia memang hanya mengizinkan aku sebagai seseorang yang dapat memanggilnya dengan panggilan spesial itu. Jadi mulai sekarang, izinkan aku memanggilnya dengan nama Naya. Oh, dan kalian tidak salah membaca, aku memang suka menghujani sosok Kanaya Arabella dengan pujian dan ucapan kasih sayang.

Naya tidak bodoh untuk tidak mengetahui bahwa aku telah jatuh hati padanya. Ia dengan halus mengatakan jika ia terlalu hancur untuk dicintai dan mencintai meskipun ia tahu dengan sangat bahwa aku adalah orang yang paling ia sayangi untuk saat ini. Ia hanya tidak ingin mengorbankan pertemanan bertahun-tahun kami untuk sebuah hubungan riskan yang bisa kapan saja hancur karena ego masing-masing.

Naya tidak bereaksi atas kalimat terakhir yang kuucapkan. Matanya masih terus menatap rimbunnya magnolia di atas kepala kami dengan tangan kanan yang terangkat seolah ingin menggapai tiap kuntum bunga berwarna merah muda itu. Aku meraih tangan kanan Naya dan mengecupi pergelangan tangannya dengan lembut, membuat Naya terkekeh geli hingga akhirnya senyumnya pudar karena melihat banyaknya bekas luka sayatan di pergelangan tangan kanannya.

Naya menarik tangannya, kini pandangannya berubah sendu. “I spent years looking for a reason to live, and many times also looking for a way to die. How pathetic.”

Ada nelangsa dari setiap ujaran yang keluar dari vokalnya— bak menusuk jantung dengan sebuah besi berkarat. Aku bukan orang yang pandai merangkai kata, barangkali terlampau bodoh jika dihadapkan dengan Naya yang notabenenya adalah penulis, perangkai aksara.

“Naya,” aku memanggilnya dengan sebuah sentuhan lembut di anak rambutnya, “if one day the heaven became too heavy for you to bear, please prioritize your well being first.” dan si bodoh Hamada Asahil hanya mampu mengucapkan itu, si bodoh itu adalah aku.

Aroma rerumputan yang bergumul dengan panasnya cahaya matahari sedikit banyak membuat ketentraman singgah di hati kami, atau lebih tepatnya hatiku. Karena sampai kapan pun aku tidak pernah tau apa arti dari bisu dan terkatupnya mulut Naya— mungkin ia sedang terluka, mungkin ia ingin menghilang, mungkin ia ingin mati saat ini juga.

Tiada yang tahu.

“Hamada...”

Sama halnya dengan aku yang lebih suka memanggilnya dengan panggilan Naya daripada Abel, Naya lebih suka memanggilku dengan nama asliku, Wichapas. Katanya, dia tak suka jika dia memanggilku dengan nama panggilan yang sama dengan orang lain. Dan di sisi lain, aku juga suka jika Naya memanggilku dengan sebutan Hamada, rasanya istimewa dan menenteramkan.

Namun, panggilan Hamada yang keluar dari mulut Naya yang setengah sadar dini hari ini membuat rasa takut memuncak di dada. Suara Naya kali ini terdengar begitu lirih dan menyakitkan berbarengan dengan suara ambulans yang berdesing layaknya huru-hara. Aku menemukan Naya tak sadarkan diri di lantai kamarnya dengan genangan darah yang mengkilat terkena cahaya rembulan. Aku memang menginap di apartemennya karena harus kerja lembur proyek novel baru milik Naya. Dan ketika aku mengecek kondisinya pada pukul empat pagi, Naya telah sekarat di dinginnya lantai karena memutus nadi di pergelangan tangan kirinya dengan sebuah pisau dapur yang semalam kugunakan untuk mengupaskan buah untuknya.

Aku menghentikan Kanaya Arabella untuk bertemu dengan kematian sekali lagi.

Naya melakukan percobaan bunuh diri lagi hari ini. Ketika aku menanyai kondisinya di ambulans maupun di rumah sakit, ia hanya menatapku dengan pandangan bak orang linglung. Bahkan ketika bertanya apa yang terjadi padanya barusan, ia tak ingat apa pun dan hanya menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan pandangan kosong pasca siuman dari ketidaksadarannya.

Naya telah terjaga sekitar empat jam dengan pandangan kosong. Ia hanya terus-terusan mengamati sekitar dengan pandangan bingung tanpa satu pun kata keluar dari mulutnya. Dan aku hanya mengamatinya dari kejauhan dengan duduk di sofa rumah sakit yang entah mengapa terasa beku karena keterdiaman kami berdua yang terlalu lama di ruangan ini. Aku mematai Naya dari kejauhan selagi mengistirahatkan tubuh yang seolah sama sekali tak hentinya bergerak ke sana ke mari mengurus ini itu yang teramat rumit.

Suara menusuknya isakan kemudian membuatku segera menoleh dan berjalan tergopoh-gopoh ke arah Naya yang kini menutupi wajahnya karena tangis hebatnya. Wajahnya terlihat memerah dan aku tidak bisa berbohong bahwa dadaku berdenyut sakit melihat seberapa kacau sosok yang aku sayangi saat ini.

Aku menarik Naya ke dalam sebuah pelukan erat yang entah mengapa terasa begitu menyakitkan. Naya dan isakan tangisnya adalah perpaduan sempurna yang membuatku ikut jatuh dalam tangisan juga. Tubuh Naya bergetar hebat dalam pelukanku karena trauma kejadian percobaan bunuh diri beberapa jam yang lalu baru saja membanjir dan meluluhlantakkan pikirannya.

“I'm scared... I'm so scared.” Naya melirih di tengah pecah suaranya yang memilukan hati.

Nay, jika kamu tahu, aku juga sama takutnya denganmu. Melihat sosok yang paling kita sayangi ingin mengakhiri hidup, memangnya siapa yang tidak takut? Bagaimana jika aku tidak menginap di rumahnya malam tadi? Bagaimana jika aku tidak mengecek kondisinya dini hari tadi? Bagaimana jika ambulans datang terlambat untuk menyelamatkan Naya? Bagaimana jika nyawa Naya tidak bisa diselamatkan?

Semua pertanyaan menggelegar di kepalaku bagaikan guruh petir yang memekakkan telinga, membuat rasa mencelos semakin nyata di dalam dada. Aku memeluk Naya lebih erat dan menangis bersamanya, memberinya pelukan paling nyaman untuk menghempas segala ketakutan kami hingga sirna. Aku membiarkan Naya menumpahkan semua kerisauan dan ketakutannya di dalam pelukanku, dengan harap bahwa setelah ini ia akan merasa lebih baik.

Waktu berjalan begitu lambat dan kami sama-sama menenangkan diri atas tumpahan emosi yang masih terus saja mengucur tanpa henti bahkan setelah satu jam menangis. Hingga akhirnya aku tidak dapat mendengar isakan memilukan Naya lagi, aku melepas pelan pelukan kami dan aku menangkup wajahnya dengan lembut. Wajahnya yang setiap hari kuagung-agungkan kecantikannya kini basah dan memerah karena terlalu lama menangis. Aku mengusap wajahnya dengan telaten selagi mencoba memberinya ketenangan dari setiap sentuhan yang kusalurkan.

“You are alive, Naya. You are alive.“

Hari itu, aku mengucapkan kalimat itu sebagai ungkapan syukur karena sosok Kanaya Arabella akhirnya masih bernyawa dan dapat melanjutkan hidup. Namun, akhirnya aku tahu jika kalimat itu bukanlah kalimat yang ingin Naya dengar.

Naya menginginkan kematian, dan mengingatkan bahwa ia sekali lagi gagal bertemu kematian adalah hal paling menyesakkan lebih dari apa pun.

Banyak hal yang terjadi setelah kejadian percobaan bunuh diri Naya. Kabar burung cepat sekali menyebar dan demi Tuhan, aku membenci semua ini. Di hari di mana Naya dilarikan ke rumah sakit, seorang wartawan tanpa izin mengambil foto dan informasi mengenai kondisi Naya dan mempostingnya di laman berita salah satu portal berita terkenal. Beritanya benar-benar sampah dan sang penulis berita berkoar-koar soal kondisi Naya sebagai penulis sakit jiwa yang menyedihkan. Dan warganet sama bejatnya dengan mengorek-orek masa lalu Naya di mana berita kematian orang tua angkat dan orang tua kandung Naya terangkat ke permukaan.

Orang-orang mulai memanggil Naya dengan sebutan pembawa sial, anak pelacur, perempuan sampah, dan masih banyak lagi panggilan tidak pantas lain yang membuatku ingin muntah. Orang-orang dengan mulut dan jarinya memang berbahaya, mereka berkomentar begitu kejam tanpa tahu kebenaran di balik suatu kejadian dan juga tak mempertimbangkan kondisi dari orang yang mereka beri hinaan keji.

Kantor penerbit kami tidak berhenti dibanjiri panggilan telepon selama dua minggu terakhir ini, pun dengan wartawan yang setiap hari menyemut di depan pintu masuk gedung kantor. Kami memang sengaja tidak mengeluarkan statemen apa pun karena hal ini adalah privasi Naya dan kami tidak berhak apa-apa pula untuk memberikan penjelasan.

Dua minggu terakhir ini juga, kondisi Naya semakin memburuk. Naya yang pada dasarnya tidak sanggup untuk makan teratur karena bulimia yang dideritanya, kini sama sekali tidak sanggup untuk menelan makanan masuk ke dalam kerongkongannya. Naya akan selalu muntah setelah menelan makanan, apa pun itu. Tubuhnya hanya sanggup menelan air dan obat-obatan, bukan makanan. Itulah mengapa tubuhnya akhir-akhir ini kian kurus dan lemah. Bahkan jika melihat ke matanya, yang ada kini hanyalah kehampaan di maniknya yang tak bersorot. Pun dengan lingkar hitam di bawah matanya yang kian menggelap karena kesulitan tidur. Kadang aku berharap bahwa aku bisa menanggung separuh lukanya yang begitu banyak hingga tak lagi bisa ditakar itu.

Mencintai seseorang yang telah mati sukmanya itu sulit. Kita tidak akan pernah bisa menyembuhkan apalagi mengubah hidupnya menjadi lebih baik karena mereka yang kelewat sudah hancur jiwanya. Dan orang yang terjebak dalam kondisi itu adalah aku, aku tidak bisa membantu apa-apa pula pada sosok Naya yang begitu rapuh nuraninya.

Tapi hari ini, aku berhasil melihat Naya merasa lebih baik akan pilihannya sendiri.

Pukul empat pagi di sebuah taman tempat kami terakhir menghabiskan waktu bersama, di situlah Naya berada. Naya benar-benar menyukai cantiknya magnolia sampai-sampai ia memutuskan untuk menggantung tubuhnya di antara rimbunnya merah muda magnolia. Angin lembut berdesau menghasilkan lambaian kelopak magnolia yang memanja mata, namun tubuh Naya masih juga diam tergantung di atas sana dengan leher yang terlilit tali tambang.

Aku melangkah mendekat dan menemukan sebuah surat yang ditimpa batu dan juga sekuntum magnolia. Aku bersimpuh untuk mengambil surat itu dan membacanya dengan kehampaan yang menggerogoti dadaku.

Hamada Asahi,

Aku ingin kamu tetap hidup. Meski terdengar egois, aku ingin kamu tetap hidup. Jangan menyusulku dulu, ya? Aku mau bertemu dengan orang tua dan adik kecilku terlebih dahulu. Mungkin kami akan makan malam atau pun minum teh bersama karena kami belum pernah melakukannya semasa kami hidup.

Hamada, beribu maaf dan terima kasih ingin kuucapkan untuk kamu setiap harinya namun aku terlalu mati rasa untuk sekedar bersyukur memiliki kamu di sisiku. Setiap hari, terbangun dari tidur adalah hal yang paling menyakitkan dan menyesakkan. Aku tidak ingin bangun, Hamada. Aku tidak ingin hidup. Jiwaku ingin lepas dan pergi, aku ingin mati setiap hari. Aku ingin luka-luka itu tinggal di belakang dan tak mengikutiku lagi.

Tidak apa-apa kan kalau aku menyerah pada surga? Rasanya, tanganku terlalu banyak dikotori oleh dosa dan trauma menjijikkan di masa lalu yang tak akan pernah pudar. Aku menyerah pada surga, pada Tuhan, dan pada hidupku sendiri. Aku tidak menginginkan apa pun selain kematian dan ketiadaan. Memangnya terlalu berlebihan ya jika aku meminta itu semua?

Hamada Asahi, tengah malam kemarin aku tersadar jika makhluk penuh dosa ini ternyata juga jatuh cinta kepada kamu. Sayangnya, kamu harus mengetahui ini ketika aku sudah tidak bernyawa. Maaf ya, aku terlalu bodoh selama ini karena tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Sekarang, kamu tidak perlu cemas lagi jika tangan dan kakiku dingin. Aku sudah tidak bisa lagi merasakan dingin di sini, Hamada.

Aku sudah hidup dua puluh lima tahun lebih dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk menanggung semua derita ini sendirian. Aku pergi dulu, ya? Aku harap kamu bisa mengejar apa pun yang kamu mau. Aku akan melihatmu dan menunggumu dari sini.

Aku sayang kamu.

Yang kini telah tiada,

—Kanaya Arabella.

Barangkali, ini yang Naya mau. Barangkali, memang seharusnya aku merelakan kepergiannya semenjak dahulu, bukannya menahan kematiannya. Barangkali, aku juga harus menyerah pada surga dan mengejar apa pun yang aku mau— sama seperti yang Naya bilang.

Tapi bagaimana aku mengejar apa pun yang aku mau jika yang aku inginkan itu kamu, Nay?